Rabu, 09 November 2016

MAKALAH METODOLOGI STUDI ISLAM DOKTRIN, AGAMA, DAN BUDAYA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Ada berbagai macam agama yang ada di dunia, termasuk yang ada di indonesia. Salah satunya adalah agama islam. Agama islam adalah agama yang di wahyukan allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang nantinya akan di ajarkan kepada orang-orang muslim khususnya dan semua orang umumnya.
Pada zaman yang sekarang ini, banyak sekali orang yang menganggap rendah masalah agama. Bertindak sok tidak tau, tidak penting. Di karenakan berbagai macam perkembangan tehnologi yang pesat yang tidak di imbangi dengan pengetahuan tentang agama. Sehingga zaman sekarang lebih di dominasi oleh orang-orang yang berkepentingan duniawi. Padahal dalam kehidupan sehari-hari, ilmu agamalah yang menjadi dasarnya. Banyak sekali hal-hal dalam kehidupan kita yang secara tidak sadar itu berhubungan atau berkaitan dengan ajaran dalam agama.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah ini akan membahas model-model penelitian agama dalam kajian Metodologi Studi Islam dengan fokus pembahasan sebagai berikut:
1.      Apakah yang di maksud agama sebagai doktrin?
2.      Apa yang di maksud agama sebagai produk budaya?
3.      Apa yang di maksud agama sebagai produk interaksi social?

C.    Tujuan Penulisan
Rumusan masalah sebagaimana telah disebutkan sebelumnya merupakan sarana untuk mengungkapkan tujuan penulisan makalah ini, yaitu:
1.      Menjelaskan maksud agama sebagai doktrin.
2.      Menjelaskan maksud agama sebagai budaya
3.      Menjelaskan maksud agama sebagai produk interaksi social

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Agama sebagai Doktrin
1.      Pengertian Doktrin
Kata doktrin berasal dalam bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu kemudian dibentuk kata doctrine yang berarti berkenaan dengan ajaran. Selain kata doctrine sebagaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang berarti bersifat teoritis yang tidak praktis. Ada pula padanan kata doktrin yaitu dogma yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti opini atau kepercayaan. Sementara menurut kamus Oxford, doctrine adalah “a set of beliefs or principles held and taught by church, political party or other group”.[1]
Istilah doctrin biasanya berhubungan dengan dua hal: Pertama, sebagai penegasan suatu kebenaran (a truth), dan kedua, berkaitan dengan ajaran (teachim). Keduanya tidak dapat dipisahkan sebab menegaskan kebenaran adalah melalui ajaran, sedangkan yang diajarkan biasanya berkaitan dengan kebenaran.
2.      Agama sebagai Doktrin
Berdasarkan yang dikemukakan dalam pengertian di atas, yang dimaksud doktrin agama adalah suatu akidah atau kepercayaan kepada Tuhan, suatu ikatan, kesadaran, dan penyembahan secara spiritual kepada-Nya.[2] Sebagai suatu akidah, prinsip-prinsip kebenaran agama dalam bentuk doktrin sebenarnya merupakan naluri manusia karena manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan untuk melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Hampir semua orang memiliki pandangan sama bahwa doktrin agama bersumber kepada wahyu. Karena agama bersumberkan pada wahyu, berarti kebenaran yang di munculkannya bernilai mutlak.
Dalam konteks inilah, ada nilai kebenaran ganda: yakni wahyu yang memiliki nilai mutlak dan penyikapan manusia terhadap kebenaran wahyu yang sudah tentu bernilai relatif.
Dengan demikian, jelaslah bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian yaitu:
a.       Kebenaran tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci.
b.      Kebenaran empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan tekstual (wahyu).
kebenaran yang pertama bernilai mutlak dan kebenaran yang kedua bernilai relatif. Dalam studi-studi agama selalu dibedakan cara untuk memperoleh kebenaran agama, yakni melalui pendekatan teologis dan teoritis. Pendekatan teologis bersumber pada wahyu yang memiliki nilai mutlak, sedangkan pendekatan teoritis bersumber pada kenyataan-kenyataan empiris, yang memiliki nilai relatif. Dalam pendekatan teoritis kebenaran yang diperoleh bukan untuk menggugat kebenaran agama yang secara teologis sudah diyakini kebenarannya, tetapi untuk menjelaskan kebenaran wahyu tersebut.[3]

B.     Agama sebagai Produk Budaya

 




1.      Pengertian Kebudayaan
Dalam kamus umum bahasa indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti pula (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang termasuk kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang dimilikinya. [4]
Manusia adalah hamba Allah SWT, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah manusia lahir, hidup dan berkembang di dunia, sehingga disebut jaga mahkluk duniawi. Sebagai mahkluk duniawi sudah barang tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan budi dan dayanya serta menggunakan segala kemampuannya baik bersifat cipta, rasa maupun karsa. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah selalu diwujudkan dengan sikap pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntunan lingkungannya.
Apa arti dan ulasan makna yang terkandung dalam istilah kebudayaan banyak dikaji oleh para ahli. Kebudayaan menurut Edward B. Taylor adalah keseluruhan yang kompleks meliputi pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[5]
Penelitian budaya merupakan penelitian tentang tradisi masyarakat kolektif (folklore). Masyarakat adalah kelompok orang yang memiliki kesamaaan ciri pengenal fisik, sosial, dan kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok lainnya. Sementara tradisi merupakan pembeda paling mencolok satu kelompok dari kelompok lainnya. Folklore menurut Espinosa, sebagaimana dikuti Suwardi Endaswara dalam bukunya Metodologi Penelitian Kebudayaan, meliputi; kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos, ilmu ghaib.[6]

2.      Agama sebagai Sasaran Penelitian Budaya
Agama merupakan kenyataan yang dapat dihayati sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Agama sebagai sebuah sistem kepercayaan memiliki berbagai unsur budaya tersebut. Islam memang berasal dari wahyu. Akan tetapi persinggungannya dengan budaya masyarakat diberbagai belahan dunia menimbulkan suatu sintesa dan menimbulkan suatu kebudayaan yang khas.[7]
Untuk memahami suatu agama, khususnya islam memang harus melalui dua modal, yaitu tekstual dan konstektual. Tekstual artinya memahami islam melalui wahyu yang berupa kitab suci. Sedangkan konstektual berarti memahami islam lewat realitas sosial, yang berupa perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.[8]
Atas dasar pandangan di atas, maka agama islam sebagai agama samawi bukan mrupakan bagian dari kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan islam bukan merupakan bagian dari gaama islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata sosial dan gejala sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap institusi-institusi yang ada.[9]
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap teks suci itu disebut kebuyaan, maka sistem pertahanan islam, sistem keuanagan islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah kebudayaan pula.[10]
Bila agama telah menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nila-nilai budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserat dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut. Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.[11]

C.    Agama sebagai Produk Interaksi Social
Dunia saat ini tengah memasuki era Globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya, sebagai salah satu upaya mengatasi kebuntuan dari ilmu pengetahuan sosial yang demikian itu, agama di harapkan dapat memberikan arahan dan perspektif baru, sehingga kehadiran agama tersebut terasa manfaatnya oleh para penganut agama.[12]
1.      Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, islam telah tampil sebagai agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara hubungan manusia dengan Tuhan, antara hubungan manusia dengan manusia, dan antara hubungan ibadah dengan urusan muamalah.
Selanjutnya, jika kita adakan perbandingan antara perhatian Islam terhadap ibadah dengan urusan muamalah, ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar daripada urusan ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.
Kita mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Umat manusia telah berhasil mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban yang maju untuk dirinya sendiri. Sejak manusia memasuki zaman modern mereka mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya. Tapi ternyata di dunia modern ini manusia tak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu penyembahan kepada hasil ciptaan sendiri.
Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk memiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema tersebut.[13]
2.      Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam
Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena cita-cita etik dan profetik tertentu.[14]
Dengan ilmu sosial profetik ini, kita ingin melakukan reorientasi terhadap epitemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu suatu pandangan bahwa sumber ilmu ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.[15]
Ilmu sosial yang demikian, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat merdam berbagai kerusuhan, tindakan kriminal, bencana kebakaran hutan, kecelakaan lalu lintas yang menelan ribuan nyawa manusia, penyalahgunaan narkotiaka dan obat-obat terlarang, penyimpangan sosial, tindakan nekad, perampasan hak-hak asasi manusia, dan masalah sosial lainnya yang terus berkembang, secara sosiologis bukanlah masalah yang berdiri sendiri.
Semua itu merupakan produk sistem dan pola pikir, pandangan yang dekaden, dan sebagainya. Dengan ilmu sosial yang demikian itulah kita siap menyongsong era globalisasi di abad ke XXI yang tanda-tandanya sudah terasa di kota-kota besar.[16]
3.      Peran Ilmu Sosial Profetik pada Era Globalisasi
Dengan ilmu sosial profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, kita tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus globalisasi yang terjadi saat ini. Islam selalu membuka diri terhadap seluruh warisan peradaban.Islam adalam sebuah paradigma terbuka.
Jika saat ini kita menghadapi kesenjangan sosial yang diakibatkan oleh perbedaan tingkat ekonomi, maka pada masa kelahirannya 15 abad yang lalu Islam telah memberikan perhatian terhadap masalah ini. Kesenjangan sosial pada sistem kapitalis ternyata lebih besar daripada kesenjangan pada sistem sosialis dan pada dunia ketiga seperti Indonesia, kesenjangan sosial itu lebih besar lagi.[17]
Dalam hubungan ini Islam mengakui adanya upaya suatu gerakan kelompok yang mebela kelas tertindas, tetapi gerakan itu tidak bersifat class for itself, seperti gerakan komunis dan sebagainya, bukan untuk menghancurkan kelas yang lain. Dari sini terlihat dengan jelas tentang kepedulian Islam terhadap upaya mengikis kesenjangan yang terjadi di masyarakat. Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa dari sejak kelahirannya 15 abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama kebudayaan dan peradaban lainnya.
Dengan mengikuti uraian diatas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial, karena itu kehadiran ilmu sosial yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat di akui oleh Islam. Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus di kembangkan yaitu ilmu sosial profetik yang di bangun dari ajaran Islam dan di arahkan untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. ilmu pengetahuan sosial demikian yang di butuhkan dalam mendatang.membangun manusia Indonesia manusia seutuhnya pada era globalisasi di abad XXI.[18]



BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan













DAFTAR PUSTAKA


[1] Limas Dodi, Islamic Studies Pendekatan dan Teori Pemikiran dalam Metodologi Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), 78.
[2] Ibid, 79.
[3][3] Ibid, 81.
[4] Ibid, 92.
[5] Ibid, 93.
[6] Ibid, 94.
[7] Ibid, 95.
[8] Ibid, 97.
[9] Ibid, 98.
[10] Ibid, 100.
[11] Ibid, 102.
[12] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014), 53.
[13] Ibid, 54.
[14] Ibid, 55.
[15] Ibid, 56.
[16] Ibid, 57.
[17] Ibid, 59.
[18] Ibid, 60.

1 komentar:

  1. Best casinos near me - JTM Hub
    Find your nearest and get directions to 김포 출장마사지 all Casino.com casinos 충주 출장안마 near you in 김포 출장안마 the United States with 세종특별자치 출장샵 JTM, 의정부 출장마사지 the home to the best casino near you!

    BalasHapus