BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ada berbagai macam agama yang ada di dunia,
termasuk yang ada di indonesia. Salah satunya adalah agama islam. Agama islam
adalah agama yang di wahyukan allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW yang nantinya
akan di ajarkan kepada orang-orang muslim khususnya dan semua orang umumnya.
Pada zaman yang sekarang ini, banyak sekali
orang yang menganggap rendah masalah agama. Bertindak sok tidak tau, tidak
penting. Di karenakan berbagai macam perkembangan tehnologi yang pesat yang tidak
di imbangi dengan pengetahuan tentang agama. Sehingga zaman sekarang lebih di
dominasi oleh orang-orang yang berkepentingan duniawi. Padahal dalam kehidupan
sehari-hari, ilmu agamalah yang menjadi dasarnya. Banyak sekali hal-hal dalam
kehidupan kita yang secara tidak sadar itu berhubungan atau berkaitan dengan
ajaran dalam agama.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, makalah
ini akan membahas model-model penelitian agama dalam kajian Metodologi Studi
Islam dengan fokus pembahasan sebagai berikut:
1.
Apakah yang di maksud agama sebagai
doktrin?
2.
Apa yang di maksud agama sebagai produk
budaya?
3.
Apa yang di maksud agama sebagai produk
interaksi social?
C. Tujuan Penulisan
Rumusan masalah sebagaimana telah
disebutkan sebelumnya merupakan sarana untuk mengungkapkan tujuan penulisan
makalah ini, yaitu:
1. Menjelaskan maksud agama sebagai doktrin.
2. Menjelaskan maksud agama sebagai budaya
3. Menjelaskan maksud agama sebagai produk interaksi social
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Agama sebagai Doktrin
1. Pengertian
Doktrin
Kata doktrin berasal
dalam bahasa inggris doctrine yang berarti ajaran. Dari kata doctrine itu
kemudian dibentuk kata doctrine yang berarti berkenaan dengan ajaran. Selain
kata doctrine sebagaimana disebut diatas, terdapat kata doctrinaire yang
berarti bersifat teoritis yang tidak praktis. Ada pula padanan kata doktrin
yaitu dogma yang berasal dari bahasa Yunani yang berarti opini atau
kepercayaan. Sementara menurut kamus Oxford, doctrine adalah “a set of beliefs
or principles held and taught by church, political party or other group”.[1]
Istilah doctrin
biasanya berhubungan dengan dua hal: Pertama, sebagai penegasan suatu kebenaran
(a truth), dan kedua, berkaitan dengan ajaran (teachim). Keduanya tidak dapat
dipisahkan sebab menegaskan kebenaran adalah melalui ajaran, sedangkan yang
diajarkan biasanya berkaitan dengan kebenaran.
2. Agama sebagai
Doktrin
Berdasarkan yang
dikemukakan dalam pengertian di atas, yang dimaksud doktrin agama adalah suatu
akidah atau kepercayaan kepada Tuhan, suatu ikatan, kesadaran, dan penyembahan
secara spiritual kepada-Nya.[2] Sebagai suatu
akidah, prinsip-prinsip kebenaran agama dalam bentuk doktrin sebenarnya
merupakan naluri manusia karena manusia pada dasarnya memiliki kecenderungan
untuk melihat dan membedakan mana yang baik dan mana yang tidak baik.
Hampir semua orang
memiliki pandangan sama bahwa doktrin agama bersumber kepada wahyu. Karena
agama bersumberkan pada wahyu, berarti kebenaran yang di munculkannya bernilai
mutlak.
Dalam konteks inilah, ada
nilai kebenaran ganda: yakni wahyu yang memiliki nilai mutlak dan penyikapan
manusia terhadap kebenaran wahyu yang sudah tentu bernilai relatif.
Dengan demikian,
jelaslah bahwa kebenaran agama memiliki dua pengertian yaitu:
a. Kebenaran
tekstual atau wahyu, yakni kebenaran-kebenaran yang ada dalam kitab-kitab suci.
b. Kebenaran
empirik, yakni keyakinan manusia beragama berdasarkan tekstual (wahyu).
kebenaran yang pertama bernilai mutlak dan
kebenaran yang kedua bernilai relatif. Dalam studi-studi agama selalu dibedakan
cara untuk memperoleh kebenaran agama, yakni melalui pendekatan teologis dan
teoritis. Pendekatan teologis bersumber pada wahyu yang memiliki nilai mutlak,
sedangkan pendekatan teoritis bersumber pada kenyataan-kenyataan empiris, yang
memiliki nilai relatif. Dalam pendekatan teoritis kebenaran yang diperoleh
bukan untuk menggugat kebenaran agama yang secara teologis sudah diyakini
kebenarannya, tetapi untuk menjelaskan kebenaran wahyu tersebut.[3]
B.
Agama sebagai Produk Budaya
1. Pengertian Kebudayaan
Dalam kamus umum bahasa
indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil kegiatan dan penciptaaan batin
(akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, adat istiadat; dan berarti
pula (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk menciptakan sesuatu yang
termasuk kebudayaan. Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta
manusia dengan menggunakan dan mengerahkan segenap potensi batin yang
dimilikinya. [4]
Manusia adalah hamba
Allah SWT, yang diciptakan di dunia sebagai khalifah manusia lahir, hidup dan
berkembang di dunia, sehingga disebut jaga mahkluk duniawi. Sebagai mahkluk
duniawi sudah barang tentu bergumul dan bergulat dengan dunia, terhadap segala
segi, masalah dan tantangannya, dengan menggunakan budi dan dayanya serta
menggunakan segala kemampuannya baik bersifat cipta, rasa maupun karsa. Hal ini
menunjukkan bahwa hubungan manusia dengan dunia itu tidaklah selalu diwujudkan
dengan sikap pasif, pasrah, dan menyesuaikan diri dengan tuntunan
lingkungannya.
Apa arti dan ulasan
makna yang terkandung dalam istilah kebudayaan banyak dikaji oleh para ahli.
Kebudayaan menurut Edward B. Taylor adalah keseluruhan yang kompleks meliputi
pengetahuan, kepercayaan, kesenian, hukum, moral, adat dan berbagai kemampuan
serta kebiasaan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.[5]
Penelitian budaya
merupakan penelitian tentang tradisi masyarakat kolektif (folklore). Masyarakat
adalah kelompok orang yang memiliki kesamaaan ciri pengenal fisik, sosial, dan
kebudayaan sehingga dapat dibedakan dengan kelompok lainnya. Sementara tradisi merupakan
pembeda paling mencolok satu kelompok dari kelompok lainnya. Folklore menurut
Espinosa, sebagaimana dikuti Suwardi Endaswara dalam bukunya Metodologi
Penelitian Kebudayaan, meliputi; kepercayaan, adat, takhayul, teka-teki, mitos,
ilmu ghaib.[6]
2. Agama sebagai
Sasaran Penelitian Budaya
Agama merupakan
kenyataan yang dapat dihayati sebagai kenyataan, berbagai aspek perwujudan
agama bermacam-macam, tergantung pada aspek yang dijadikan sasaran studi dan
tujuan yang hendak dicapai oleh orang yang melakukan studi.
Agama sebagai sebuah
sistem kepercayaan memiliki berbagai unsur budaya tersebut. Islam memang
berasal dari wahyu. Akan tetapi persinggungannya dengan budaya masyarakat
diberbagai belahan dunia menimbulkan suatu sintesa dan menimbulkan suatu kebudayaan
yang khas.[7]
Untuk memahami suatu
agama, khususnya islam memang harus melalui dua modal, yaitu tekstual dan
konstektual. Tekstual artinya memahami islam melalui wahyu yang berupa kitab
suci. Sedangkan konstektual berarti memahami islam lewat realitas sosial, yang
berupa perilaku masyarakat yang memeluk agama bersangkutan.[8]
Atas dasar pandangan di
atas, maka agama islam sebagai agama samawi bukan mrupakan bagian dari
kebudayaan (Islam), demikian pula sebaliknya kebudayaan islam bukan merupakan
bagian dari gaama islam.
Agama sebagai budaya, juga dapat dilihat
sebagai mekanisme control, karena agama adalah pranata sosial dan gejala
sosial, yang berfungsi sebagai kontrol, terhadap institusi-institusi yang ada.[9]
Oleh karena itu, dapat
disimpulkan bahwa hasil pemikiran manusia yang berupa interprestasi terhadap
teks suci itu disebut kebuyaan, maka sistem pertahanan islam, sistem keuanagan
islam, dan sebagainya yang timbul sebagai hasil pemikiran manusia adalah
kebudayaan pula.[10]
Bila agama telah
menjadi bagian dari kebudayaan maka agama juga menjadi bagian dari nila-nilai
budaya dari kebudayaan tersebut. Dengan demikian, maka berbagai tindakan yang
dilakukan oleh para warga masyarakat untuk pemenuhan kebutuhan-kebutuhan
kehidupan mereka dalam sehari-harinya juga akan berlandaskan pada etos agama
yang diyakini. Dengan demikian, nilai-nilai etika dan moral agama akan terserat
dan tercermin dalam berbagai pranata yang ada dalam masyarakat tersebut.
Sebaliknya, bila yang menjadi inti dan yang hakiki dari kebudayaan tersebut
adalah nilai-nilai budaya yang lain, maka nilai-nilai etika dan moral dari
agama yang dipeluk oleh masyarakat tersebut hanya akan menjadi pemanis mulut
saja atau hanya penting untuk upacara-upacara saja.[11]
C.
Agama
sebagai Produk
Interaksi Social
Dunia saat ini tengah
memasuki era Globalisasi dengan dampak negatif dan positifnya, sebagai salah
satu upaya mengatasi kebuntuan dari ilmu pengetahuan sosial yang demikian itu,
agama di harapkan dapat memberikan arahan dan perspektif baru, sehingga kehadiran
agama tersebut terasa manfaatnya oleh para penganut agama.[12]
1. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu
Sosial
Sejak
kelahirannya belasan abad yang lalu, islam telah tampil sebagai agama yang
memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan akhirat, antara
hubungan manusia dengan Tuhan, antara hubungan manusia dengan manusia, dan
antara hubungan ibadah dengan urusan muamalah.
Selanjutnya,
jika kita adakan perbandingan antara perhatian Islam terhadap ibadah dengan
urusan muamalah, ternyata Islam menekankan urusan muamalah lebih besar daripada
urusan ibadah dalam arti yang khusus. Islam lebih banyak memperhatikan aspek
kehidupan sosial daripada aspek kehidupan ritual.
Kita
mengetahui bahwa dewasa ini manusia menghadapi berbagai macam persoalan yang
benar-benar membutuhkan pemecahan segera. Umat manusia telah berhasil
mengorganisasikan ekonomi, menata struktur politik, serta membangun peradaban
yang maju untuk dirinya sendiri. Sejak manusia memasuki zaman modern mereka
mampu mengembangkan potensi-potensi rasionalnya. Tapi ternyata di dunia modern
ini manusia tak dapat melepaskan diri dari jenis belenggu lain, yaitu
penyembahan kepada hasil ciptaan sendiri.
Dalam
keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk memiliki ilmu
pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari berbagai problema
tersebut.[13]
2. Ilmu Sosial yang Bernuansa Islam
Menurut
Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial yang tidak
hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga memberi petunjuk ke
arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dan oleh siapa. Yaitu ilmu
sosial yang mampu mengubah fenomena cita-cita etik dan profetik tertentu.[14]
Dengan
ilmu sosial profetik ini, kita ingin melakukan reorientasi terhadap
epitemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu
suatu pandangan bahwa sumber ilmu ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan
empiri sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.[15]
Ilmu
sosial yang demikian, maka umat Islam akan dapat meluruskan gerak langkah
perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi saat ini dan juga dapat merdam
berbagai kerusuhan, tindakan kriminal, bencana kebakaran hutan, kecelakaan lalu
lintas yang menelan ribuan nyawa manusia, penyalahgunaan narkotiaka dan obat-obat
terlarang, penyimpangan sosial, tindakan nekad, perampasan hak-hak asasi
manusia, dan masalah sosial lainnya yang terus berkembang, secara sosiologis
bukanlah masalah yang berdiri sendiri.
Semua
itu merupakan produk sistem dan pola pikir, pandangan yang dekaden, dan
sebagainya. Dengan ilmu sosial yang demikian itulah kita siap menyongsong era
globalisasi di abad ke XXI yang tanda-tandanya sudah terasa di kota-kota besar.[16]
3. Peran Ilmu Sosial Profetik pada Era
Globalisasi
Dengan ilmu sosial
profetik yang kita bangun dari ajaran Islam sebagaimana tersebut di atas, kita
tidak perlu takut atau khawatir terhadap dominasi sains barat dan arus
globalisasi yang terjadi saat ini. Islam selalu membuka diri terhadap seluruh
warisan peradaban.Islam adalam sebuah paradigma terbuka.
Jika saat ini kita menghadapi kesenjangan sosial yang
diakibatkan oleh perbedaan tingkat ekonomi, maka pada masa kelahirannya 15 abad
yang lalu Islam telah memberikan perhatian terhadap masalah ini. Kesenjangan
sosial pada sistem kapitalis ternyata lebih besar daripada kesenjangan pada
sistem sosialis dan pada dunia ketiga seperti Indonesia, kesenjangan sosial itu
lebih besar lagi.[17]
Dalam hubungan ini
Islam mengakui adanya upaya suatu gerakan kelompok yang mebela kelas tertindas,
tetapi gerakan itu tidak bersifat class for itself, seperti gerakan komunis dan
sebagainya, bukan untuk menghancurkan kelas yang lain. Dari sini terlihat
dengan jelas tentang kepedulian Islam terhadap upaya mengikis kesenjangan yang
terjadi di masyarakat. Bukti sejarah tersebut memperlihatkan dengan jelas bahwa
dari sejak kelahirannya 15 abad yang lalu Islam telah tampil sebagai agama
terbuka, akomodatif serta berdampingan dengan agama kebudayaan dan peradaban
lainnya.
Dengan mengikuti uraian
diatas, kiranya menjadi jelas bahwa Islam memiliki perhatian dan kepedulian
yang tinggi terhadap masalah-masalah sosial, karena itu kehadiran ilmu sosial
yang banyak membicarakan tentang manusia tersebut dapat di akui oleh Islam.
Namun Islam memiliki pandangan yang khas tentang ilmu sosial yang harus di
kembangkan yaitu ilmu sosial profetik yang di bangun dari ajaran Islam dan di
arahkan untuk humanisasi, liberasi, dan transendensi. ilmu pengetahuan sosial
demikian yang di butuhkan dalam mendatang.membangun manusia Indonesia manusia
seutuhnya pada era globalisasi di abad XXI.[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
[1]
Limas Dodi, Islamic Studies Pendekatan dan Teori Pemikiran dalam Metodologi
Studi Islam (Yogyakarta: Pustaka Ilmu, 2015), 78.
[2] Ibid,
79.
[3][3]
Ibid, 81.
[4] Ibid,
92.
[5] Ibid,
93.
[6] Ibid,
94.
[7] Ibid,
95.
[8] Ibid,
97.
[9] Ibid,
98.
[10] Ibid,
100.
[11] Ibid,
102.
[12]
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2014),
53.
[13] Ibid,
54.
[14] Ibid,
55.
[15] Ibid,
56.
[16] Ibid,
57.
[17] Ibid,
59.
[18]
Ibid, 60.
Best casinos near me - JTM Hub
BalasHapusFind your nearest and get directions to 김포 출장마사지 all Casino.com casinos 충주 출장안마 near you in 김포 출장안마 the United States with 세종특별자치 출장샵 JTM, 의정부 출장마사지 the home to the best casino near you!